Hadiwaratama
http://www.ganeshana.org
Asesanti
Saya tidak menyangka, kalau kenangan saya 50 tahun berdirinya ITB yang di-forward ke mailing list alumni FT mendapat tanggapan yang beragam khususnya dari alumni FT dan ITB pada umumnya, baik di mailing list maupun email pribadi.
Saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan saya terhadap itu semua. Terharukah, herankah, terperanjatkah atau apa ? Mungkin ada ungkapan yang paling tepat dalam bahasa Jawa : Ngungun ! Tapi juga bangga bahwa para bekas muridnya sudah pada berkarya untuk kemaslahatan sesama dan kemanusiaan, berbekal keahlian yang dikembangkan masing-masing baik dalam kancah nasional maupun internasional. Demikian juga kepada yang telah jadi pemimpin dan tokoh bangsa. Hanya itu kebanggaan guru, tiada yang lain !
Dalam kengungunan itu saya mencoba menghayati sesanti (motto atau falsafah), yang dicipta oleh Sostrokartono, kakak Ibu Kartini, sebagai berikut :
Nglurug tanpa bala, sugih tanpa bandha, weweh tanpa kelangan, menang tanpa ngasorake.
Kalau kita camkan kok ada benarnya bagi seorang guru.
Nglurug tanpa bala =menyerbu tanpa pasukan
Kemanapun seorang guru pergi selalu akan ketemu bekas-bekas muridnya. Mereka dimana-mana. Jadi kemanapun dia pergi sebenarnya tidak akan pernah merasa sendirian. Tapi kalau main sepak bola jangan digiring sendiri. Kapan menangnya ? Bisa berakhir kalah tanpa ngasorake.
Sugih tanpa bandha = kaya tanpa harta
Kekayaan yang diandalkan seorang guru adalah ilmunya, bukan hartanya. Bahkan sering dikatakan sugih tanpa handarbeni, kaya tanpa memiliki, karena ilmunya itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi diperuntukkan bagi murid-muridnya. Kaya sahabat tanpa memiliki. Bekas-bekas muridnya ! Kayaknya kok barang bekas ya ? Ada istilah yang lebih elegant ?
Weweh tanpa kelangan = memberikan tanpa kehilangan
Sekalipun memberikan ilmu pada murid-muridnya, ilmu itu tidak akan hilang atau susut dari benaknya. Bahkan bertambah karena kontak sosialnya dengan murid. Dia akan selalu menggali dan mencari.
Menang tanpa ngasorake = menang tanpa mengalahkan
Jaman sekarang lebih dikenal dengan istilah win win solution. Yang kalah tidak merasa dikalahkan, yang menang tidak merasa memenangkan.
Di kelas/laboratorium, guru sering atau kadang-kadang disangkal atau ditanya oleh murid tentang kebenaran dalil-dalilnya, analisanya, synthesanya, evaluasinya dan verifikasinya.
Bila guru dapat menjelaskan dan proven, murid tidak merasa dikalahkan, malah merasa diuntungkan. Demikian juga bila sanggahan murid yang benar, guru tidak merasa dikalahkan, justru diuntungkan, karena menemukan kekurangannya.
Mahasiswa Jurusan Pertambangan juga pernah nulis sesanti : No mining – no gold, no gold – no money, no money – no girl. Mengapa tidak sekalian diteruskan No girl – Jomblo !
Yah begitulah kurang lebihnya memaknai sesanti guru, saling knolewdge and experience sharing dengan murid-muridnya, bahkan dengan siapapun selama bermakna.
Angabekti
Guru itu kekayaannya berupa ilmu, yang hanya akan hilang karena kepikunan atau hayat yang melayang. Guru tidak mengenal purna bakti yang dibatasi legitimasi administratip waktu belaka.
Guru akan berkarya terus sepanjang masih dalam jangkauannya. Demikian juga bagi orang-orang yang berkeahlian, tidak mengenal pensiun. Ilmu dan keahlian itu tidak kenal pensiun. Yang pensiun itu jabatannya ! Jangan merasa pensiun, berkaryalah terus. Perasaan pensiun itu mematikan ! Apalagi sampai menderita post power syndrome. Dalam masa-masa surutnya matahari diufuk barat, orang akan bertanya karya-karya apa yang telah diperbuat dan dibanggakan. Tentunya yang meaningful and significant.
Kita akan bertanya what have I done to my nation, to my country, to mankind. Atau to my profession, to my organization, to my company atau to my institution dll. Tentu pertanyaan akan berlanjut can I do more while it is still within my reach? Dengan demikian kita tidak akan pernah merasa pensiun dan terpinggirkan. Dalam jangkauan intelektualitas, spiritualitas ataupun emotionalitas yang bermakna masing-masing, itulah karya seseorang. Hanya dengan komunitas atau komunitas barunyalah itu bisa terjadi. Namanya juga makhluk sosial. Manusia kan bukan seperti beruang kutub yang soliter itu.
Amemetri
Memetri (Jawa) itu melestarikan dan merawat, antara lain seperti kisah berikut. Syahdan, ± 3 tahun yang lalu
saya di sms oleh seorang teman, eks Atase Kebudayaan RI di Paris. Saya diminta hadir di suatu sarasehan di Jogya, dan diminta mimpin suatu kegiatan, entah apa persisnya. Banyak yang saya tidak kenal di sarasehan itu. Yang hadir ada yang dari Ja-Teng dan DIY, entah yang dari Ja-Tim. Rupanya mau bentuk team pendaftaran aksara tradisional Jawa ke Unicode. Apa itu Unicode Consortium juga saya tidak paham. Hanya dikemudian hari saya ketahui itu adalah Lembaga resmi yang anggautanya para pengembang Computer System di seluruh dunia yang mempunyai tugas pokok menyusun dan menetapkan “Standard Coding” aksara-aksara dunia pada seluruh sistem komputer dunia.
Saya mengelak, karena cakupan pekerjaan itu diluar kompetensi saya, dan saya hampir 50 tahun telah mukim jauh di Bandung. Sudah Nyunda pula, meskipun masih Jawa. Kan banyak orang yang ahli aksara dan bahasa Jawa di Jogya atau Solo. Tapi mereka tetap ngotot meminta saya memimpin team itu. Istilahnya diplekotholah saya oleh beliau-beliau itu. Saya ambil hikmahnya saja, mungkin ini akan jadi karya bakti saya pada budaya, bahasa dan masyarakat Jawa yang 80 juta itu, sebagai bagian dari kebhinnekaan NKRI.
Saya terima dengan tegar tugas itu, namun keringatan juga. Ini kan tanda-tanda tidak PD sebenarnya. Bagaimana tidak, modal cuma dari Taman Muda (SD – Taman Siswa), yang hanya melek aksara Jawa sampai kelas III, dan baru diperkenalkan aksara Gedrik (Latin) di kelas III itu. Namun sampai Taman Dewasa – SMP Taman Siswa, saat itu ada pelajaran bahasa daerah.
Langkah pertama adalah meng-inventarisasi aksara Jawa. Setahu saya kan cuma 20 biji abjad aksara Jawa itu. Di kemudian hari ketemu 51. Kita kan harus bikin Logical Framework, supaya jelas langkah dan alur inventarisasi. Dasar logika yang saya pakai, sampai saat ini, ya pola pikir insinyur, bukan budaya. Pola pikir/penalaran insinyur itu kan sangat well defined, selalu mempertanyakan tentang sesuatu dan mencari solusinya ! What, why, when, where, who/which and how (5W+1H)!
Saya banyak baca kesastraan Sunda beraksara Cacarakan (= mirip Carakan Jawa), di kemudian hari saya sebut Carakan Sunda, sebab ada Carakan Jawa, Madura, Bali dan Sasak, yang punya sedikit versi masing-masing. Desertasi Mikihiro Moriyama tentang bahasa Sunda, saya habeg habis. Hal yang menarik, kok Carakan Sunda punya aksara a dan ha, sedang Jawa hanya punya 1 simbul aksara ha = a (Jawa tidak bisa membedakan antara a dan ha pada awal suatu kata). Hadiningrat dan Adiningrat sama saja artinya. Nulisnya pun sama. Jadi uniknya, mau memecahkan masalah aksara Jawa, entry point saya dari kesastraan Sunda.
Entry point yang lain bagaimana orang Jawa menulis Bhinneka Tunggal Ika, lambang NKRI. Padahal penciptanya Empu Tantular, pasti Jawa ! Sampai saya minta dikirimi Sutasoma, karya Empu Tantular, oleh teman dosen di FIB-UI. Saya minta aslinya yang tulisan Jawa. Yang ada aslinya tulisan Carakan Bali dan tidak mungkin dicopy, sudah rapuh ! Akhirnya dikirimi desertasi tentang Sutasoma karya Guru Besar UI di Australia. Bahasa Inggris ! Apa tumon mempelajari bahasa Jawa kok lewat Inggris. Itu adalah bahasa Jawa Kuna. Bahasa apa pula ini?! Tidak saya mengerti karena 50% kosakatanya Sanskerta dan 50% lagi bahasa Jawa. Berarti saya harus telusuri ke aksara dan kaidah bahasa Sanskerta.
Entry point yang lain adalah bagaimana menulis Airlangga. Jadi punya diftongkah aksara Jawa itu ? Ini betul-betul melelahkan, karena dalam sastra sejarah Jawa Airlangga ini sedikit saja disebut-sebut. Di kesusastraan sejarah Bali banyak disebut. Ternyata dia anak Raja Bali Udayana ! Mau ditilep kali ya ?! Rupanya tilep menilep ini sudah ada sejak manusia menulis sejarahnya. Makanya jangan heran kalau orang masih menyoal Supersemar. Dengan semangat dan modal ke-Fisika Tehnik-an, akhirnya expedisi saya bersama sejawat dalam mengungkap keberadaan, hakekat dan kaidah aksara Jawa dan aturan penulisannya ketemu semua.
Sangat ilmiah dan nalar/maton sekali. Kata teman-teman ahli bahasa Jawa, belum ada yang pernah menggali sedalam dan seilmiah itu sebelumnya. Saya hanya mengungkap hakekat keseluruhan sebuah gunung es, yang selama ini hanya dikenal puncaknya, entah sudah berapa abad lamanya. Gunung es itu ternyata aksara dan bahasa Sanskerta. Kuncinya merangkai fenomena dengan penalaran keinsinyuran. Istilahnya berfikir eksakta, bila ditinjau dari disiplin ilmu budaya.
Rasanya sudah tuntas expedisi saya selama 3 tahun dengan hasil kajian yang bisa dibukukan itu, namun tetap saja masih nongol kasus-kasus unik, antara lain : Bahasa Jawanya orang Jawa itu manteb (medhok). Lha representasi dalam simbul-simbul aksara untuk kemedhokan ini bagaimana, dan apa ukurannya, decibel ? Lantas benchmark-nya apa ? Rupanya ini bisa jadi sasaran penelitian FT. Joko Sarwono, yang S3 nya di Inggris bersangkut paut dengan itu sanggup ngedraftkan TOR Penelitian Gabungan bersama keahlian-keahlian lain. Yang manteb-manteb logatnya kan Jawa Tegal, Prokerto dan Banyumas, meskipun sudah berusaha bandhegan sebaik mungkin, ya …..?! Bandheg itu asalnya gandheg = utusan kerajaan yang halus bahasanya. Jadi meniru bahasa gandhek lah. Logat mereka itu disebut pego, padahal itu yang asli, pakai a-miring. Jogya Solo bandheg/standard, Cirebon reang.
Amarsudi
Marsudi itu menggeluti, antara lain seperti dalam Pendidikan Sains dan Matematika. Menyimak kejayaan Negara Maritim Nusantara selama paling tidak 600 tahun, sejak Sriwijaya –Majapahit dan berakhir di Demak, Semarang tepatnya, kita pantas bertanya-tanya, mengapa kita tidak bangkit-bangkit saja ? Mitra kita yang juga berjaya di jaman dahulu di Asia, seperti China dan India, sudah pada bangkit, kok kita belum saja. Padahal sudah sering diperingati Hari Kebangkitan Nasional. Lantas yang bangkit apanya ? Apakah cukup dengan kesadaran politik tanpa karya yang membangkitkan kejayaan ?
Nusantara itu bukan main jayanya, disegani oleh mitra-mitra besarnya. Diintimidasi oleh Ku Blai Khan saja diperung (dipotong) telinga utusannya. Expedisinya pun dimentahkan. Sekarang mau nyoba senjata pesawat baru dari Rusia saja kok mêjên. Lha kalau perang beneran bagaimana ? Apa ada yang ngunci dengan electronic countermeasure dari satelit ?
Kalau dulu seluruh jalur perdagangan (laut) dikuasai negara, seluruh aset dikuasai negara, tidak ada yang berani melanggarnya, apalagi meng-obok-obok, kok sekarang kayaknya selalu dilecehkan saja ! Namun kalau diperhatikan benar, kebangkitan kedua mitra besar kita itu karena kemampuannya dalam manufactured and processed goods disamping perangkat lunaknya. Karya dari hasil inovasi dan kreativitas : Teknologi. Bukankah hakekat kebangkitan itu diwujudkan dalam kemampuan menciptakan nilai tambah dan jasa-jasa yang terkait ? Bukan jualan unprocessed and unmanufactured goods, apalagi menggadaikan atau jualan aset. Pangkalnya adalah penguasaan Sains dan Matematika, yang akan menghasilkan state of the art (technology) dengan proses penalaran ilmiah, seperti yang disebut didepan: 5W+1H ataupun W5H.
Jadi menguasai dan menghayati dasar-dasar (the basic principles) dari ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dan Matematika, itulah sumber kebangkitan bangsa, untuk mencipta nilai tambah dan jasa melalui state of the art.
Bagaimana tidak concern. Hasil kajian kami terhadap nilai-nilai Ujian Masuk Perguruan Tinggi (UMPTN) dalam rentang waktu 10 tahun lebih terakhir (Rayon I Sumatera dan Jawa Barat tahun 1997 – 2006) sangat memprihatinkan. Padahal soal-soal ujiannya masih dalam jangkauan kurikulum SMA. Indeks Fasilitas (IF), jumlah populasi peserta UMPTN yang dapat menjawab dengan benar suatu soal, masih amat rendah. Untuk selama rentang waktu tersebut rata-rata Indeks Fasilitas untuk : Fisika 14,5%, Matematika 16,5%, Biologi 27,5%, Kimia 28,4%. Padahal mereka umumnya selalu ikut Bimbel. Sayangnya analisa ini tidak pernah dilakukan dan tidak diinformasikan kepada pemangku kepentingan maupun umum. Mungkin disimpan di panitia pusatnya. Yang penting kan sudah bisa menyeleksi dengan descrimination index (ID), memisahkan yang lebih berpotensi dan yang kurang sesuai kursi yang tersedia. Orang tua atau Sekolah juga tidak memperhatikannya. Yang penting murid-muridnya sudah diterima di PTN. Perasaan puas semacam ini membuat orang terlena bahwa tantangan kita masih jauh dari itu. Sekali lagi berbudaya maju. Bangkit dan Jaya ! Berapa lama risetime untuk ini. Kami sendiri belum menemukan angka persisnya, berapa IF minimum sebagai threshold untuk menuju ke budaya ilmu pengetahuan. Jadi belum menemukan apakah threshold itu 60%, 70% atau berapa.
Disinilah kesibukan saya dengan teman-teman yang lain baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif di ITB. Kelompok ini berusaha bagaimana memasukkan penguasaan MIPA dalam proses pembelajaran di dunia pendidikan. Harapannya supaya bangkitlah NKRI, sejajar dengan negara-negara besar lainnya. Berbudaya maju, berbudaya ilmu pengetahuan, mahir dalam state of the art. Hanya guru yang bisa memulainya !
Menaikkan batas bawah angka kelulusan bukanlah ukuran keberhasilan. Ukurannya adalah Kebangkitan ! Angka itu tidak bermakna sama sekali selama kita tetap terpuruk, tidak mampu berinovasi dan berkreasi sebagai suatu bangsa. Kiranya bagi yang berkenan dan tertarik pada upaya-upaya tersebut sangat welcome, bisa lewat web www.ganeshana.org, atau e-mail pribadi. Ada kolom edu, iptek dan budaya. Kami perlu sumber-sumber kepustakaan + informasi LN, dan tentu saja akan kami ganti biayanya, sejauh jangkauan kami. Ketulusan, namun tanpa merugikan, itulah sesanti kami. Istilah kerennya not for profit, gitu lho ! Nya semangat BHP tea……. !
Angupakartri
Guru memang upakartri, who has done a lot of favor pada anak bangsa. Tanda jasa ? Jangan harap ! Guru tidak menunggu itu. Kebanggaan pada karya murid-muridnya itu lebih bermakna dari bintang apapun. Karena itu lebih seperempat abad yang lalu dicipta hymne guru Pahlawan tanpa tanda jasa. Katanya sekarang sudah ganti, saya tidak perhatikan. Dikasihani ? Jangan juga ! Yang perlu dikasihani itu justru mereka yang menelantarkan nasib guru. Berarti menelantarkan anak bangsa yang akan semakin jauh dari kebangkitan. Guru bantu ? Amatilah sendiri. Ngilu nian tangan untuk menorehkannya.
Bila nanti tidak ada lagi guru yang jadi tukang ojeg, -parkir, -pengumpul plastik serta barang bekas dan sambilan sejenisnya, itulah tanda-tanda awal kebangkitan.
Jaman Belanda, guru itu idaman mertua. Sekarang katanya jadi ancaman orang tua. Kalau anak perempuan tidak nurut, diancam mau dikawinkan dengan guru. Yang masih tetap jadi idaman mitoha katanya tukang Insinyur. Sekarang ST. Kalau tamatan Diploma IV, SST. Yang satu ini mudah saya mengingatnya. Ketika Bung Cacuk (alm) jadi Dirut Telkom, kami sering kumpul-kumpul di kantornya, atau dimana saja, tentang kegiatan PII. Saya tanya SST itu apa. Katanya Satuan Sambungan Tilpun. Kalau begitu ST itu sambungan tilpun. Tapi itu kan gelar insinyur sekarang ! Don’t worry lah !
Kembali ke…….. guru idaman mertua. Rupanya tetap berlaku, tapi guru insinyur. Apalagi yang dari Ganesha itu. Terkenal oleh kampus-kampus lain, proyeknya gede-gede ! Apalagi dulu, ketika ahli masih kurang. Proyek yang ngantre. Ngajar pun jadi kewalahan, apalagi ngajar di kampus-kampus lain. Nggak u-u yee…. ! Tapi bagi yang terpanggil, ngajar itu kan juga panggilan hati. Takut bilang nurani, dikira ikut-ikutan kampanye caleg ! Pernah dirumorkan, mahasiswa kalau mau ambil mata kuliah, lihat-lihat dulu mobil dosennya. Kalau Mercy, BMW, Volvo dan sejenisnya, mahasiswa pikir-pikir dulu. Masih sempat ngajar beneran nggak ?! Itu kan ukuran gede dan sibuknya proyek. Apa cari yang naik sepeda? Itu aneh tapi nyata ! Itu dulu!
Sekarang kampus kan penuh aneka ragam mobil. Ukurannya tidak merk saja, tapi juga kemulusan dan tahunnya. Jalan-jalan disekitar kampus + tempat parkir yang lain pun penuh mobil. Itu pasti mahasiswa. Kan dilarang masuk kampus. Kalau pensiunan? Paling longok-longok diluar pager, malas nyerahin KTP kalau mau naik mobil ke kampus. Kalau jalan kaki sih bebas, tapi boyok nggak tahan lagi. Kêju! Malu dilihat orang, kalau bolak balik jongkok ngendorin boyok.
Sertifikasi
Sekarang guru mulai disertifikasi. Sekalipun masih portofolio. Ini baik, namun jumlahnya jutaan. Kalau angka yang jadi sasaran, bisa-bisa kwalitas terabaikan. Dengar-dengar bobot sertifikasi itu 25% pada substansi atau penguasaan ilmu, 75% untuk yang kait mengait dengan kependidikan, pengelolaan, dan proses pembelajaran. Rasanya kok terbalik ya, apa bukan yang 75% kedalaman ilmu, supaya bangsa kita bisa bangkit?
Sekalipun sekolah sebagai pusat kebudayaan, tapi kan kebudayaan maju yang dituju. Budaya berbasis ilmu pengetahuan menuju knowledge based society. Yang sering tidak ketemu memang antara cita-cita, visi, misi, objective and goals, dengan langkah-langkah nyata dan means yang dipakai. Indah di perencanaan dan perancangan sering meleset dalam realisasi.
Engineering juga sering begitu. Indah dalam simulasi virtual reality, dengan computational modeling sekalipun, namun belum tentu sama dengan hasil realisasi.
Maka metodapun diperbaharui dengan rapid prototyping, bahkan rapid tooling dan rapid manufacturing untuk menuju tidak sekedar near net shape-, tapi net shape-manufacturing. High perfect yield, no rest piece, no defect, yet high productivity.
Bisakah sertifikasi guru seperti itu ? Kita itu kok selalu terburu-buru saja mengejar sasaran, terutama jumlah. Memang problem utama kita itu dimension not just quality. Tapi juga density penyebaran yang tidak sama kepadatan penduduk daerahnya. Belum jarak lokasinya ! Orang berfikir step function, realitasnya itu tidak ada. Yang ada risetime ! Pengembangan sumber daya insani adalah long yielding investment and effort. Step function itu tidak bisa dipakai. Yang benar rise time yang diatur dengan design dan planning yang cermat dan foolproof. Dosen juga sama, disertifikasi. Guru besar langsung certified. Mudah-mudahan dalam sertifikasi dosen, ITB tidak lupa for being in pursuant to the frontier of science and technology. R & D ! Not just teaching ! Terlebih bila penghelanya adalah program-program Graduate, Post Graduate dan Post Doc.
Mengakhiri
Ada yang memulai tentu ada yang mengakhiri. Itulah sekelumit kisah kesibukan tanpa henti, bersama teman-teman di kampus Ganesha, maupun dengan teman-teman panggilut kesastraan Jawa di kampus-kampus lain dan para praktisi umumnya.
Untuk rekan Sugandi Rachmat, saya bangga pada kekaryaan anda baik di Indonesia, Brasil maupun Inggris. My door is open, anytime you visit Indonesia. Saya lupa kalau anda pernah saya tawari ikut membangun Politeknik di Indonesia, tapi anda bergabung ke Nurtanio. Memang dalam tugas-tugas saya banyak dibantu oleh mahasiswa dan young graduates. Terimakasih kepada semua, siapa saja yang pernah bantu saya. Lupa nyebut nama masing-masing, saking banyaknya. Untuk diketahui, saya tetap gaptek, hanya bisa email + browsing lewat HP tapi ndak bisa download. Computer, modem + printer ada, tapi cuma ngganggu menuh-menuhi meja saya. Ini juga yang ngetik neng Sri, sekretaris di kantor. Kami memerlukan resources : texbooks/references untuk pembelajaran mathematics, physics, chemistry and biology utamanya year 7-12/13 yang dipakai umum di Inggris, dan lain lain. Sokur bila bisa mulai year 1-12/13.
Terimakasih juga pada yang lain, yang telah menanggapi tulisan saya yang lalu. Betapa digital technology telah membuat dunia kita semakin borderless dan well connected. Itu semua berawal dari deret dan transformasi Fourier. Sementara saya sudahi dulu disini. Kiranya tali silaturahmi akan bersambung.
Bandung, 24 Maret 2009
Hadiwaratama hwtama@yahoo.com