Mengenang 50 tahun : Fakultas Teknik Universitas Indonesia menjadi Institut Teknologi Bandung

27 Februari, 2009

Samar-samar

Tulisan ini disusun berdasarkan ingatan samar-samar penulis peristiwa penting 50 tahun yang lalu, dan bukan dimaksud untuk penulisan sejarah formal. Sekedar kisah saja, kenangan penulis selama mahasiswa.

Lima puluh dua tahun yang lalu, untuk pertama kali penulis, setamat SMA-B Semarang, melakukan perjalanan jauh dari Semarang ke Bandung. Naik sepur gede, ganti bus di Cirebon, dan dengan cemas menuju Bandung, takut dicegat gerombolan DI. Perjalanan itu untuk mengikuti test masuk Fakultas Teknik UI. Untuk Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA) maupun Fakultas Pertanian, UI belum ada test masuk saat itu, cukup mendaftar saja, demikian juga di Fakultas Teknik UGM.

Hanya mata pelajaran-mata pelajaran di Ujian Nasional dengan nilai dibawah 8 yang harus ditest. Penulis lupa test pelajaran apa saja yang penulis ikuti. Yang ingat pelajaran Mekanika karena samar-samar masih ingat soalnya. Dulu di SMA, Mekanika itu pelajaran terpisah dari Fisika, hanya dapat sampai kelas dua. Test yang lain mestinya Fisika dan Matematika, namun tidak ingat sama sekali soal-soalnya, jumlahnya sekitar 3 buah, essay. Dulu belum kenal multiple choice, baru populer sejak dosen-dosen Amerika (Kentucky Team) ada.

Nomor test penulis rupanya nomor was-was, 426 – ini identitas Batalion 426 Mayor Munawar Divisi Dipenogoro, yang berontak pada Pemerintah RI pada awal-awal tahun 50-an. Entah nomor tersebut apa masih dipakai di Kodam Dipenogoro atau dihapus, seperti angka 13 digedung-gedung bertingkat di Barat.

Maksud hati masuk Jurusan Fisika FIPIA, namun diketawai ketika daftar karena nilai ujian di SMA jelek, 4 ! Padahal Fisika dan Matematika itu mata pelajaran yang paling penulis sukai sejak SMP, dan nilai-nilai disekolah tentu saja selalu bagus. Seingat penulis juara kelas, karena selalu jadi ketua kelas. Untung ada satu-satunya test masuk di Perguruan Tinggi yaitu Fakultas Teknik UI, dan ada jurusan Fisika pula, meskipun pakai embel-embel Teknik. Rasanya kok keren ya, bisa jadi Insinyur kelak, seperti Bung Karno, maka kesitu lah penulis mendaftarkan pilihan. Tau Fisika Teknik itu apa, yang penting masuk Fisika yang berembel-embel Teknik. Keren kan?! Coba tidak ada test masuk, kan tidak akan ada tulisan ini !

Perkuliahan sa’at itu

Mahasiswa jurusan Fisika Teknik masih kecil jumlahnya, kalau tidak keliru hanya 8 orang saja angkatan 1957. Selama 2 tahun kuliah di UI tersebut selalu digabung-gabung dengan jurusan-jurusan lain, mungkin semacam 2 tahun pertama bersama, sehingga tidak merasa di jurusan. Program studi saat itu 5 tahun kalau tidak 5½ tahun, lupa persisnya. Teman belajar tidak selalu dari 1 jurusan, pokoknya cocok saja. Kuliah lari-lari dari satu ruangan keruang lain yang tidak selalu berdekatan.

Kendaraan yang umum ya sepeda, dosen bromfiets atau speda motor. Parkirnya di dekat zaal VI, ada tempat khusus parkir sepeda dengan rak-rak seperti jaman Belanda dulu. Jadi kampusnya ya asri dan agak lengang, paling-paling lihat anak-anak Arsitektur pada nggambar sketsa di bawah-bawah pohon, atau anak Geodesi (mungkin Sipil juga?) praktek-praktek pengukuran tanah. Karena itu kita kenal hampir seluruh mahasiswa seangkatannya, tanpa mengenali jurusannya, karena 2 tahun selalu sama-sama. Seninya selalu rebutan tempat duduk deretan depan. Kalau sekarang yang diperebutkan deretan belakang? Takut ditanya oleh dosen atau disuruh kepapan tulis. Dulu memang hampir-hampir tidak ada tanya jawab di kuliah, karena hal itu tugas Asisten. Pernah di kuliah Matematik, penulis disuruh tutup mulut tidak boleh bertanya, katanya mengganggu kelas. Itu Profesor dari Jerman, lupa namanya. Kalau Profesor Amerika malah senang kalau ditanya, tetapi mahasiswa sudah terlanjur malu bertanya, kalau tidak takut. Bisa-bisa jadi backfire.

Bahasa pengantar umumnya Inggris, karena sebagian besar dosennya asing. Yang terbanyak Amerika, kemudian Jerman, Belanda dan sedikit saja Indonesia.

Kita merasa di Jurusan hanya kalau di himpunan, itupun di saung di padang rumput antara Lab Fisika Dasar Boscha dan kantor-kantor dosen Fisika/Fisika Teknik. Nama himpunannya HMFT, ketuanya Aldy Anwar alm. Dialah identitas Fisika Teknik. Ngomong Aldy Anwar, ya ngomong FT, ngomong FT ya ngomong Aldy Anwar, bukan Prof. Go Pok Oen alm, padahal Kajur ! Pernah Aldy marah karena nama himpunan itu kita baca HMVT !

Apa arti sebuah nama

Dari Aldy Anwar-lah kami tahu kabar adanya rencana pembentukan institusi baru. Karena memang Aldy sangat care pada Fisika Teknik dengan ke FT- atau ke VT-annya !

Saat itu dia bilang FT dan FIPIA mau dipisah dari UI dan akan didirikan Perguruan Tinggi baru. Istilah sekarang mungkin “pemekaran“ ! Ternyata dikemudian hari Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Pertanian-nya dipisah dari UI juga, dan jadi IPB. Lantas Universitas apa namanya? Katanya bukan Universitas, tapi Institut. Waduh kecewa nian saat itu, kok Institut, apa pula itu ! Kami kan belum akrab dengan nama Institut, belum kenal MIT meskipun Aldy mencoba menjelaskannya ! Rasanya kok tidak nyaman gitu lho ! Universitas lebih keren !

Lantas namanya apa? Katanya lagi dirembug-rembug, oleh dewa-dewa kali ya ! Yang pasti Institut Teknologi. Nama kemungkinan Bung Karno, tapi masih ada yang tidak setuju karena BK masih hidup. Akhirnya terbetik berita namanya Bandung. Waduh rasanya kok jadi kecil, masa dari Indonesia terus cuma jadi Bandung. Awal-awal makai nama ITB kok gimana yah, canggung !

Hampir-hampir tidak ada kebanggaan, orang tidak kenal. Penduduk Bandung lebih kenal TH ! Kalau sekarang kan lain brand immage-nya melangit, sekalipun di atas langit masih ada langit. Nya ITB tea….!

Mahasiswa ya ayem-ayem saja, nggak tanya, nggak demo, apa lagi kelahi-kelahi segala. Bodo amat, itu kan urusan dewa-dewa. Hari-hari sibuk kuliah, asistensi, praktikum, bikin laporan dan ngerjakan PR. Sudah cuacanya dingin pula sampai dikampus selalu pakai jaket, siang sekalipun, apalagi pagi dan sore. Umumnya beli dipasar loak Jatayu, sepatu-nya juga, termasuk ransel dan ikat pinggangnya. Jatah tentara. Kendaraan utama sepeda, oplet rasanya belum ada. Paling delman yang bisa sampai Dago, becak nggak kuat. Kalau pondokan dibawah, pergi ke kampus ngos-ngosan. Nanjak ! Pulangnya enak, ndak usah ngontel, bisa los stang pula, rem cukup pakai kaki. Sepeda terpedo, dan jalan masih lengang. Coba sekarang begitu ! Boro-boro berakhir di Rumah Sakit, bisa-bisa di bandosa !

Soal jajanan mahasiswa ? Diatas lapangan basket dulu ada kantin mahasiswa, toko buku dan kantor pos. Bank belum ada, apa yang mau dibankkan duwit juga nyapret. Karena itu yang berduit saja jajan di kantin, lotek, telur rebus setengah matang + 1 gelas susu segar, nasi soto Bandung dll. Yang lain umumnya jajan mih kocok dibawah Jalan Taman Sari dekat bonbin. Uenaknya bukan main, apalagi kalau hujan-hujan, terjangkau lagi. Maksudnya beli 1 porsi tapi mintanya ½ porsi dulu kemudian nambah lagi ½ porsi. Harga 1 porsi dapat lebih banyak dan selalu minta dikasih sungsum ! Atau jajan tahu bakso pikul, sekarang masih ada. Yang dorongan belum ada. Yang lebih segar rujak cuka pikul dan disugu dadakan tipis-tipis buahnya. Wah sueger betul rasanya, cabe dan garamnya ngatur sendiri-sendiri sesuai selera. Penjualnya suka mengeluh, kalau yang beli dari Padang ngambil cabenya banyak-banyak. Mungkin cabe lagi mahal. Di kampung kan cabe tinggal petik dikebun. Mereka ini berjualan di dalam kampus, tidak banyak memang. Penjual bajigur pikul juga ada. Yang jualan di jalan-jalan depan kampus belum ada. Bandung masih kota kembang, Parijs van Java. Mobil ? Juarang ! Bandingkan dengan di kampus dan di jalan-jalan sekitar kampus sekarang !

Toko buku dan kantor pos kampus

Beli buku ya di toko buku disebelah kantin tadi, umumnya buku-buku import dari AS, karena textbook-nya dari terbitan AS semua. Buku-buku Belanda katanya telah dibumi hanguskan oleh team dosen AS. Dianggap kuno !

Buku-buku text terbitan AS, Asian edition belum ada, kalau sekarang mungkin tak terbeli dengan harga rata-rata diatas US$ 100,-/buku.

Dulu murah dan terjangkau, karena mahasiswa dapat potongan 50%, lupa tepatnya 25% kah, melalui Yayasan Lektur. Mahasiswa diminta buat daftar buku-buku yang mau dipesan dan mengisi formulir untuk permohonan potongan tersebut. Yang ngurus ya toko buku tersebut, lupa persisnya apa oleh administrasi pusat. Bila disetujui kita dapat voucher berisi nama buku yang hendak dibeli, dan kita pakai untuk beli buku yang kita pesan, atau ditoko buku lain yang menerima voucher tersebut. Itu adalah keringanan yang diberikan oleh Pemerintah kepada mahasiswa. Jadi banyak mahasiswa yang punya buku-buku lengkap, karena tidak ada diktat-diktat. Rasanya buku dalam negeri juga ada potongan, tapi tidak pernah dipakai karena murah. SPP hanya bayar selama 4 tahun saja, selebihnya gratis.

Yang penulis alami, sebagai grantee Caltex pertama dijurusan, beasiswanya Rp. 1000,- per bulan, lebih tinggi dari gaji dosen muda yang Rp. 800,- Tiap 3 atau 4 bulan dapat uang vakansi Rp. 1000,- lagi. Demikian juga dapat uang buku, Rp. 1000,- pertahun atau persemester, lupa persisnya. Pondokan + makan 3 kali digedongan Rp. 150,-/bulan. Mahasiswa adalah anggauta masyarakat yang elite.

Kalau keperluan surat menyurat cukup di kampus. Wesel biasanya kita alamatkan di pondokan, ambilnya di kantor pos Jalan Asia Afrika, pakai tanda pengenal khusus. Kalau tidak punya ya repot, KTP belum ada. Jadi harus minta pengesahan/cap ke Administrasi atau Kelurahan. Kartu Mahasiswa banyak menolong untuk mendapatkan kartu khusus itu, lupa namanya.

Persiapan Hari H – Peresmian ITB

Entah siapa ketua panitia peresmian tersebut. Yang pasti seperti biasa dari berita lisan antar teman, kita diminta kumpul di ruang VI. Yang kumpul mahasiswa semua. Entah sudah ada Senat Mahasiswa apa tidak saat itu, penulis tidak perhatian. Yang pasti ada himpunan.

Rupanya itu persiapan acara peresmian ITB. Dibentuk kelompok/team yang bertanggung jawab pada penerima tamu (mungkin protokol), konsumsi, perlengkapan, keamanan, dll. Biasanya yang ditunjuk dan disetujui dalam rapat nama-nama ketua teamnya, yang ngusulkan floor. Kemudian cari anggauta masing-masing disitu sesuai yang direncanakan. Kalau kurang diserahkan Ketuanya masing-masing. Penulis kebagian sebagai ketua keamanan. Entah berapa kali penulis ikut dalam kepanitiaan semacam itu. Kalau tidak keamanan ya konsumsi. Yang teringat dalam upacara-upacara peresmian oleh Presiden ya Keamanan untuk peresmian ITB dan Konsumsi untuk peresmian Reaktor Atom/PRAB. Anehnya sekalipun bertanggung jawab pada konsumsi, tidak pernah mengatur pengadaan konsumsinya sendiri. Rupanya hanya ngatur distribusi dan pengamanannya, maklum mahasiswa suka pada nimbrung, padahal untuk tamu-tamu undangan. Penulis lupa apakah dalam rangka peresmian ITB tersebut atau perayaan 17 Agustus, penulis bertanggung jawab acara karnaval (pawai alegoris) dari FT.

Yang ditampilkan HMFT berbentuk Roket diatas truk, pilotnya pakai pinjaman perlengkapan terbang & kostum kebesaran Mayor (Pnb) Leo Watimena saat itu, karena mahasiswa nya lebih langsing.

Acara peresmian ITB akan diselenggarakan di jalan masuk kampus disebelah utara regol dengan jam yang bersejarah itu. Kursi diatur dari pertigaan atas, kebawah sepanjang jalan antara lapangan basket dan tenis.

Batu prasasti akan ditandatangani Presiden dan akan ditempel di tugu yang akan ditanam di pinggir lapangan, totogan jalan masuk. Jadi tamu-tamu VVIP kursinya ya di jalan yang rata di pertigaan itu.

Semua tamu undangan lewat gerbang depan, sedang warga kampus lewat pintu timur dan pintu-pintu barat, dan belakang. Team Keamanan mengatur/mengawasi jalur pintu-pintu dan gerbang tersebut. Karena masih sedikit jumlah warga kampus, team keamanan yang anggautanya dari jurusan-jurusan bisa mengenali warga kampus atau bukan.

Security atau paswalpres rasanya kok tidak seperti sekarang, longgar-longgar saja. Apa memang belum ada, penulis tidak tahu pasti. Pengamanan di kampus seluruhnya oleh mahasiswa. Menwa belum ada ! Penulis tidak tahu, repotnya seksi-seksi lain, pokoknya ya konsentrasi keamanan ketertiban saja.

Hari-H, 2 Maret 1959

Pagi-pagi seluruh panitia siap di tempat masing-masing seperti yang telah ditentukan. Penulis disekitar pintu gerbang, karena di sebelah barat tiang bendera sebelum pintu masuk Presiden dan rombongan akan turun, terus diantar masuk ketempat acara. Umumnya tamu-tamu berpakaian jas lengkap.

Tiba-tiba ada orang tanpa pakaian lengkap, biasa-biasa saja, mau masuk lewat depan. Pasti bukan warga kampus, nggak tahu jalannya. Ketika kami hentikan, dan ditanya siapa dan dari mana, ngakunya intel kepolisian. Tetap saja tidak kami izinkan masuk, dan pergi entah kemana. Tepatnya pukul berapa Presiden datang, penulis tidak perhatikan, mungkin di ITB ada catatannya, tapi pagi. Tamu datang naik sedan cabriolet, open kap, entah merknya. Photonya ada di ruang rapat Rektor ITB. Entah masih di situ apa tidak, dulu penulis lihat kalo ikut Rapim ITB setiap pekan.

Saat mobil berhenti di tempat yang ditentukan, penulis sebagai ketua keamanan ikut mendekat ingin membantu buka pintu mobil. Tapi sudah ada yang bukakan, entah ajudan atau protokol, atau anggauta penyambut. Yang turun 2 Presiden, Bung Karno dan Ho Chi Minh. Kemudian keduanya diantar berjalan ke dalam kampus, ke tempat duduknya. Kalau sekarang kan tidak mungkin keamanan Presiden selonggar itu. Penulis dan teman-teman pengamanan gerbang depan, berdiri-berdiri saja di sekitar regol jam, sambil mengawasi.

Kesan penulis melihat dari dekat kedua Pemimpin Besar bangsa masing-masing itu masih melekat sampai saat ini.

Yang satu sedang berjuang merebut kembali Irian Barat, yang satunya sedang berjuang merebut kembali Vietnam Selatan. Bukan main hebat keduanya.

Tetapi penampilan jauh berbeda, yang satu keren chic/necis pakai peci dan kaca mata hitam, tak lupa tongkat komando, jalannya tegap pakai setelan jas safari sedang yang satunya pakai baju/jas potong Cina kain blacu, jadi tidak putih lah, pakai trompah (pasti bikinan Vietnam karena saat itu belum ada trompah bandol/ban bodol ITB), kulit muka putih bersih, rambut putih, jenggot putih Cina – bukan Arab jadi nggak lebat gitu lho ! Jalannya tidak setegap Bung Karno, cenderung bagaimana ya ?! Mirip Cina klontong yang keluar masuk desa/kampung sambil mutar-mutar klontongannya dan bunyi tung tung…. tung tung…. tung tung, cuma tidak bertopi. Bung Karno memanggilnya “paman HO”. Betul-betul bersahaja penampilan pemimpin besar Vietnam itu. Sekarang ekonomi dan industri Vietnam sudah bangkit. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan comparative advantage upah buruh murah, kecuali kemahiran dan profesionalitas.

Karena jaga ngawasi pintu masuk, penulis tidak perhatikan apa pidato Bung Karno maupun Ho Chi Minh. Pasti masalah perjuangan ! Karena peresmian lembaga tinggi pendidikan, penulis sepintas dengar pidato begini: Ilmu itu bagaikan air amerta, air kehidupan, jadi jangan takut sekalipun berada di tengah racun kita harus berani mendapatkannya. Entah Bung Karno entah Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (saat itu Dr. Priyono) yang mengucapkan, lupa. Dr. Priyono, pakar Kesastraan Jawa Kuna dalam sambutannya menyebut “para mahasiswa dan mahasiswati”. Ketika Bung Karno mulai pidato nyebut “para mahasiswa dan …………….., berhenti sejenak – pendengar terdiam tegang apa akan sama dengan Dr. Priyono tidak, ternyata akhirnya bilang ………… “mahasiswi” ! Semua bertepuk tangan riuh, mungkin karena lepas dari ketegangan. Penulis juga ikut tepuk tangan, karena “itu” pasti akan menjadi istilah resmi ! Begitulah awal “mahasiswi” !

Entah di ITB itu, atau di mana Bung Karno mulai membakar semangat dengan suara berapi-api. Kita bukan bangsa tempe………………….. dst, dst ! Padahal tiap hari kita makan tempe tahu. Kalau sarapan enggak ada tempe dan tahu goreng + sambal kecap rasanya cemplang ! Apa maksudnya sebagai bangsa yang lembek, mudah membusuk ?! Bukankah sambal tempe bosok kalau nasinya liwet anget bukan main pula nikmatnya, apalagi itu di waktu hujan sore-sore !

Begitulah kisah Peresmian ITB 50 tahun lalu. Penulis tidak ingat bagaimana acara itu berakhir dan bagaimana Presiden-Presiden dan rombongannya meninggalkan upacara. Juga tidak ingat apa ada pembubaran Panitia, kan semuanya tanpa SK.

Akhir kisah

Rupanya begitulah sekelumit kisah yang penulis alami selama belajar di ITB. Saat-saat terakhir, hampir sidang sarjana, juga masih ketimpa tugas dari DM. Saat itu dalam kepanitiaan Penyelenggaraan Perkenalan Mahasiswa Baru di ITB. Itulah awal acara-acara perkenalan intra kampus mahasiswa baru di ITB, terpusat dan diselenggarakan oleh mahasiswa, diawasi/didampingi oleh dosen.

Tidak ada acara penggojlokan, murni perkenalan bagi seluruh mahasiswa baru. Penulis kebagian mimpin acara Kerja Bakti di Pamanukan, bantu bikin terusan. Ketua DM saat itu Muslimin Nasution, pengganti Udaya (alm) pada periode sebelumnya. Di kemudian hari Udaya menjadi menantu Dr. Ibnu Sutowo, Dirut Pertamina saat itu. Kalau saat ini kan dirutnya alumni FT-ITB lulusan tahun 1983, perempuan lagi, Galaila Karen Agustiawan. Semoga Sukses !

Persiapan kerja bakti itu bukan main melelahkan. Lupa penulis berapa ratus orang mahasiswa baru ITB, pasti lebih dari 500, belum panitianya. Saat itu hubungan Indonesia-Inggris lagi jelek. Kedutaan Inggris diserbu & dibakar massa. Penulis juga tidak tahu siapa yang menentukan kerja bakti di Pamanukan. Yang pasti rombongan ITB itu melewati Subang, pusat Perkebunan Inggris. Yang penulis ingat pergi dengan Prof.Dr.Ir. R.M. Sumantri Brojonegoro, dekan saat itu, menghadap Gubernur Mashudi. Berdua saja kami pergi, naik Fiat 1100 abu-abu disopiri sendiri oleh Prof. Sumantri, yang selalu bercelana pendek dan kaos kaki sampai bawah lutut. Yang penulis lupa, pakai dasi tidak saat itu. Biasanya hari-hari beliau pakai dasi. Bertiga saja kami saat diruang kerja Gubernur, cuma kok tidak ingat apa yang dibicarakan, apa dalam bahasa Belanda? Tapi satu pasti akan dibantu beras dan angkutan.

Saat berangkat berderet 20 truk di Jalan Ganesa dan 1 truk beras berkarung-karung. Acara pemberangkatanpun meriah hiruk pikuk, malah penulis hampir tertinggal, saking sibuk ngatur pemberangkatan. Pengantar berjubel di gerbang Ganesha, sayang tak seorangpun punya camera. Saat itu tahun 1963 masih barang langka dan mewah. Truk-truk angkutan barang tersebut sepertinya Kodam yang menyediakan, entah dari perusahaan angkutan apa saja. Keamanan perjalanan penulis serahkan pada Siswono dan teman-teman Sipilnya. Ternyata yang paling berat nyediakan ransum harian di Pamanukan.

Urusan masak memasak oleh mahasiswi-mahasiswi dari Biologi, Farmasi dll, dibantu Sridiharto dkk. Masaknya disawah, nggak mateng-mateng sampai pada nangis padahal sudah siang, dan kami semua sudah lapar menunggu.

Pulangnya dijemput 20 truk lagi, dikomandani Siswono. Penulis pulang dengan rombongan panitia terakhir sambil bawa pulang sisa beras. Tau dibawa kemana sisa beras itu. Yang tidak terlupakan, penulis kehilangan satu sepatu, lupa yang kiri apa yang kanan dan pulang dengan cakar ayam.

Begitulah sekelumit kisah dan kenangan, suka dan duka, selalu kebagian tugas yang garang-garang, namun mengesankan selama belajar di FT-UI dan FT-ITB. Diuji masuk oleh UI, diwisuda lulus oleh ITB, acaranya dihadiri Ibu Fatmawati.

Dirgahayu ITB, semoga kau selalu kian maju mempelopori pengembangan IPTEK di tanah air menuju bangsa berbudaya maju serta berkelas dunia dalam masa-masa 50 tahun kedepan.

Hadiwaratama, Alumni lulusan 1963