Bandung, tf.itb.ac.id – Pada hari Kamis (14/11) lalu, Kelompok Keahlian (KK) Fisika Bangunan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung, baru saja menggelar Adhiwijogo Lecture Series (ALS) yang bertemakan “Peran Fisika Bangunan dalam Menghadapi Pandemi COVID-19”. ALS sendiri adalah suatu kegiatan seminar/kuliah umum tahunan yang diselenggarakan untuk umum dan bertujuan untuk membagikan pengetahuan terkait Fisika Bangun. Sesuai dengan tema yang dibawakan, pada perhelatannya yang kali ini, ALS memberikan kesempatan para peserta untuk mendapatkan ilmu dari para praktisi di bidang fisika bangunan terkait dengan peran keilmuan tersebut terhadap pandemi, khususnya kesehatan secara umum – mengingat persoalan kesehatan menjadi isu-isu utama hari-hari ini. Praktisi-praktisi yang memberikan kuliah adalah dua pengajar TF ITB yakni Dr. Ir. Rizki A. Mangkuto, S.T., M.T dan Ir. Rahmat Romadhon, S.T., M.T. serta satu pemateri lainnya yaitu Herwin Gunawan, S.T., M.T. dari ALTA Integra.
Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, ALS pun dibuka oleh Ni Putu Amanda Nitidara, S.T., M.T. selaku pembawa acara dari kegiatan. “Berbeda dari pelaksanaan biasanya, kali ini, acara dilaksanakan secara daring, “ sebutnya. Selanjutnya, setelah pembawa acara menjelaskan terkait alur kegiatan dan informasi terkait, ia juga mempersilahkan Ir. F.X. Nugroho Soelami, MBEnv., Ph.D. selaku Ketua KK Fisika Bangunan untuk memberikan sambutan. “Nama Adhiwijogo diambil dari seorang profesor yang mempelopori bidang Fisika Bangunan di ITB. ALS adalah bagian dari apresiasi kami, dari KK Fisika Bangunan, kepada beliau, “ sebut Dr. Nugroho sebagai tambahan informasi. Lalu, usai sambutan, acara lalu diambil alih oleh moderator seminar sekaligus tanya jawab, Ir. R. Triyogo, MDesSc (Illum.), sekaligus mengawali kegiatan inti dari ALS.
Kuliah pertama dimulai oleh Dr. Rizki dengan topik Pencahayaan Alami untuk Kesehatan dalam Lingkungan Binaan. “Pencahayaan alami mulai diamati pengaruhnya terhadap kesehatan setidaknya sejak (kurang lebih) 100 tahun yang lalu akibat dipelopori oleh Florence Nightingale, “ buka Dr. Rizki. Dalam kesempatan ini, beliau memberikan beberapa contoh kasus yang merepresentasikan korelasi antara adanya pencahayaan alami dan efeknya terhadap kesehatan. Ia juga memberikan banyak pengetahuan teknis dan fisis terkait dengan desain pencahayaan yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan. “Pada intinya, kita perlu memahami komponen sumber, material, penerima dan pengaruhnya terhadap parameter-parameter pencahayaaobnnya, “ lanjutnya. Setelah itu, Dr. Rizki juga memaparkan standar-standar yang sudah berlaku terkait dengan desain pencahayaan pada bangunan yang berkorelasi dengan kesehatan seseorang – seperti kebutuhan desain rumah sakit.
Selain memaparkan faktor-faktor visual dari desain pencahayaan alami terhadap persepsi manusia, Dr. Rizki juga sempat memberikan informasi terkait adanya efek non-visual dari pencahayaan terhadap manusia. “Persepsi cahaya (terang-gelap) pada manusia dan hewan akan menghasilkan respon sirkadian. Ini adalah respon yang akan mengatur jam internal kita, termasuk memproduksi hormon melatonin yang berfungsi untuk menjaga temperatur tubuh dan meningkatkan kewaspadaan, “ jelasnya. Lalu, terkait dengan COVID-19, salah satu yang menarik dari konteks pencahayaan adalah manfaat sinar UV terkait dengan kondisi tubuh seseorang dalam menghadapi virus COVID-19. Terlepas dari validnya efek UV terhadap kondisi tubuh/imun tubuh secara khusus, Dr. Rizki menyatakan bahwa ajakan-ajakan berjemur di bawah terik matahari juga harus dirasionalisasi dengan observasi/penelitian yang tepat. “Misalnya, urusan pada pukul berapa harus berjemur pun masih beragam, kenyataannya setelah dilakukan pengukuran, indeks UV memang tidak dapat diseragamkan dari hari ke hari sehingga memang perlu ada telaah lebih lanjut, “ sambung Dr. Rizki. Sebagai penutup, Dr. Rizki menyatakan bahwa kesehatan memang bisa memberikan efek positif terhadap kesehatan pada lingkungan binaan. “Namun, banyak lagi yang perlu kita pelajari dan penggalian ilmu. Kuncinya ada di optimisasi dan kolaborasi, “ tutup Dr. Rizki.
Estafet paparan lalu dilanjutkan oleh Ir. Rahmat Romadhon dengan topik Penataan Lingkungan Termal dalam Bangunan untuk Menghadapi Penyebaran COVID-19. Sebagai pembuka, beliau terlebih dahulu memaparkan ulang informasi-informasi COVID-19 terutama yang berhubungan dengan penyebarannya yang dapat ditransmisikan lewat droplet atau airborne. Setelah itu, ia melanjutkan materi dengan memberikan pengetahuan awal soal lingkungan termal. “Manusia memiliki sistem termoregulasi yang bertujuan untuk menjaga kesetimbangan kalor di dalam tubuh. Kadang kala, dalam suatu lingkungan, perlu dilakukan pengaturan sistem tata udara untuk mencapai keadaan temperatur yang baik bagia penghuninya, “ ujar Ir. Rahmat.
Setelah mengawali kuliah dengan berbagai informasi dasar, ia lalu memaparkan terkait sebuah studi yang menunjukkan efek dari temperatur dan kelembaban terhadap inaktivasi virus. “Penurunan aktivasi virus ternyata tampak pada kelembaban yang relatif tinggi yakni 50%. Jadi, sebenarnya, kita dapat memperoleh keadaan nyaman optimum dengan risiko virus yang minimum, “ jelasnya. Beliau juga memaparkan standar yang berlaku untuk menjaga kondisi udara yang baik dalam sebuah ruangan karena hal tersebut penting untuk meminimalisir risiko virus. “Salah satu studi menarik lainnya, dalam kondisi untuk menjaga tidak terjadinya aliran yang bercampur, dapat digunakan sistem displacement ventilation dibandingkan mixing ventilation, “ ujarnya sambil menutup materi.
Terakhir, materi dilanjutkan oleh Herwin Gunawan, , S.T., M.T. seorang praktisi senior di bidang konsultasi fisika bangunan dengan paparan yang berjudul Konsep Bangunan Sehat. “Munculnya penyakit-penyakit menular diawali dari tingginya aktivitas manusia karena industri revolusi. Pada saat itu juga disadari bahwa persoalan built environment menjadi suatu hal yang krusial bersama keilmuan kesehatan masyarakat dalam menghindari persoalan penyakit menular, “ buka Herwin dalam materinya. Karena kesadaran tersebut, dibentuklah standar-standar untuk menjamin bangunan yang bisa menghindari polusi kesehatan – yang bisa muncul secara biologis, kimiawi, dan fisis. “Lalu, bangunan serta letak bangunan juga perlu untuk bisa mendukung beberapa faktor yang mendukung kesehatan manusia seperti faktor pemenuhan pangan, aktivitas, dan keadaan mental/pikiran seseorang, “ lanjut Herwin. Herwin meyakini bahwa jika hal-hal tersebut dapat dipenuhi oleh sebuah bangunan atau lingkungan binaan maka faktor kesehatan pun akan dapat dijaga dengan baik.
Usai paparan dari ketiga pembicara, acara dilanjutkan dengan tanya jawab yang dipimpin oleh moderator. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah efektivitas pemanfaatan sinar UV dalam menghadapi persoalan COVID-19. “Standar terkait penggunaan sinar UV nyatanya telah mulai dikerjakan bahkan dipublikasikan oleh otoritas-otoritas terkait, jadi mungkin sekali bahwa sinar UV memang akan berguna bagi inaktivasi COVID-19, “ ujar Dr. Rizki. Namun, selaras dengan jawaban Ir. Rahmat, penting pula untuk memastikan bahwa tidak ada penghuni yang terkena exposure berlebih dari sinar UV sebab sinar tersebut dapat memberikan efek negatif pada makhluk hidup, khususnya manusia. “Untuk itu, bisa pula untuk menggunakan sinar UV pada sistem ventilasi atau filter sehingga tidak langsung terkena ke makhluk hidup di ruangan, “ ujar Ir. Rahmat. Sesi pertanyaan ini juga sekaligus menutup kegiatan ALS, harapannya kegiatan ini memang bisa memberikan pengetahuan dan informasi bagi para peserta untuk memantik keingintahuan dan semangat riset dari tiap individu.
Penulis : Ferio Brahmana (Teknik Fisika 2017)
Editor : Narendra Kurnia P.